Berita Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi – Ike Farida, 29 Juli 2015

Atur Hak Milik Perkawinan WNI dengan WNA, Pemerintah Dorong MK Buat Terobosan

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945. Sidang dengan nomor perkara 69/PUU-XIII/2015 tersebut beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah.

Diwakili Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi, Pemerintah mengakui perlu adanya instrumen hukum yang baru untuk mewadahi kepentingan konstitusional warga negara yang menikah dengan warga negara asing dalam hal hak milik dan hak guna bangunan, seperti halnya kasus yang dialami Pemohon.

“Hemat Pemerintah, memang perlu diberikan adanya instrumen hukum yang baru atau apapun istilahnya, apakah dalam bentuk peraturan menteri, apakah dalam bentuk instrumen hukum yang lain untuk mewadahi pihak-pihak seperti yang Pemohon ajukan itu,” ujar Mualimin di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu (29/7).

Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat itu, Pemerintah juga berharap MK dapat memberikan terobosan dan jalan hukum kepada Pemohon. Sebab, Pemerintah mengakui kondisi saat UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan disahkan pada 1960 dan 1974, berbeda dengan kondisi saat ini dengan dinamika yang ada.

Selain itu, Pemerintah mengapresiasi permohonan uji materi UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan yang dimohonkan oleh Ike Farida, seorang istri dari Warga Negara Jepang yang merasa haknya untuk memperoleh hak milik dan hak guna bangunan sirna lantaran Ia menikah dengan warga negara asing. “Saya kira ini jalan terbaik agar Pemohon memperoleh keadilan dan memperoleh hak-hak yang memang diperjuangkan oleh Pemohon,” imbuhnya.

Terkait pasal-pasal yang dimohonkan oleh Pemohon, Pemerintah menilai baik UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan telah memberikan kepastian hukum. Pasal-pasal tersebut disusun dalam rangka melindungi dan memberikan keadilan bagi setiap WNI. Namun, terkait dengan kasus yang dialami Pemohon, Pemerintah mengatakan memang terdapat kekosongan hukum.

“Bagaimana kalau Pemohon yang kebetulan kawin dengan orang asing ingin membeli yang sifatnya terkait dengan Undang-Undang Pokok Agraria ada di tengah jalan? Apakah perjanjian perkawinan bisa dibuat di tengah jalan? Ini menjadi masalah,” cetus Mualimin.

Oleh karena itu, Pemerintah tidak menguraikan apakah permohonan bertentangan dengan Konstitusi. Namun, Pemerintah mendorong dibentuknya instrumen hukum baru untuk menyelesaikan persoalan Pemohon.

“Sebagai petitumnya pemerintah kepada memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya dan yang sebijak-bijaksananya,” tutupnya.

Sebelumnya, Pemohon menguji ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan:

Pasal 21 ayat (1) UU Pokok Agraria

Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

Pasal 21 ayat (3) UU Pokok Agraria

Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria

Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan

Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan

Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan

Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Menurut Pemohon, norma-norma tersebut telah menghilangkan haknya untuk memperoleh Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Sebab, perjanjian pembelian apartemen yang dilakukan Pemohon dibatalkan sepihak oleh pengembang lantaran suami Pemohon adalah warga negara asing dan Pemohon tidak mempunyai perjanjian perkawinan. Pemohon melanjutkan, penolakan pembelian oleh pengembang tersebut dikuatkan oleh Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang intinya menyatakan pembatalan surat pesanan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya suatu perjanjian, yaitu pelanggaran Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria.

“Dapat disimpulkan hak Pemohon untuk memiliki rumah susun musnah oleh berlakunya pasal-pasal dalam UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan tersebut,” ujarnya pada sidang perdana, Kamis (11/6).

Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa ‘Warga Negara Indonesia’ pada Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Warga negara Indonesia tanpa terkecuali dalam segala status perkawinan, baik warga negara Indonesia yang tidak kawin, warga negara Indonesia yang kawin dengan sesama warga negara Indonesia, dan warga negara Indonesia yang kawin dengan warga negara asing’.

Selain itu, Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa sejak diperoleh hak pada Pasal 21 ayat (3) UU Pokok Agraria bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sejak kepemilikian hak beralih’.

Adapun untuk UU Perkawinan, menurut Pemohon frasa ‘Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan’. Untuk Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan, Pemohon meminta agar Pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian terhadap Pasal 29 ayat (4), sepanjang frasa ‘selama perkawinan berlangsung’, Pemohon meminta agar frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terakhir, Pemohon meminta agar frasa ‘harta bersama’ dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘harta bersama kecuali harta benda berupa Hak Milik dan Hak Guna Bangunan yang dimiliki oleh warga negara Indonesia yang kawin dengan warga negara asing’. (Lulu Hanifah)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11565#.VcH4qZOqqko

 

One thought on “Berita Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi – Ike Farida, 29 Juli 2015

Comments are closed.

X