Perjanjian Pra-Nikah

Perjanjian Kawin penentu hak seorang Warganegara Indonesia dalam Perkawinan Campuran:

Setelah seorang perempuan warganegara Indonesia dapat menurunkan kewarganegaraan Indonesianya kepada keturunan mereka yang sah dalam sebuah perkawinan campuran berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Kini giliran hak seorang warganegara Indoensia baik pria maupun perempuan warganegara Indonesia dalam perkawinan campuran untuk mengusung aspirasinya agar hak atas kepemilikan tanah benar-benar dilindungi sebagai hak yang penuh seorang warganegara Indonesia.

Saat ini berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria No. 5  Tahun 1960 Pasal 21 ayat (3), kendala yang paling berat yang dihadapi oleh pasangan perkawinan campuran dimana salah satunya adalah seorang warganegara Indonesia dan pasangan lainnya adalah warganegara Asing, adalah, bila mereka tidak memiliki sebuah perjanjian perkawinan maka hak warganegara Indonesia secara serta merta dipersamakan dengan hak seorang warganegara asing dalam hal kepemilikan tanah, yaitu sebatas hak pakai yang hanya mempunyai jangka waktu terbatas yaitu 20 tahun.

Atas penafsiran dari Pasal 21 ayat (3), tersebut maka sudah barang tentu hak konstitutional seorang warganegara Indonesia akibat dari sebuah perkawinan campuran dipangkas habis. Padahal menurut UU No. 11 Tahun 2006 tentang Hak-hak Sipil, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Ekonomi Sosial dan Budaya serta UU No. 7 Tahun 1996 tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan, disebutkan bahwa perkawinan tidak boleh menyebabkan seseorang kehilangan hak kewarganegaraannya baik dalam hal mempertahankan kewarganegaraannya, mempertahankan hak sipilnya maupun mempertahankan hak ekonominya.

Tanah, merupakan sumber ekonomi sebuah keluarga, selain itu tanah juga merupakan identitas dan keterkaitan yang sangat erat bagi seorang warganegara Indonesia. Maka dengan adanya pembatasan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 21 ayat (3) tersebut maka jelas-jelas hak seorang warganegara Indonesia dalam sebuah perkawinan adalah sepenuhnya tergantung dari secarik kertas yang disebut perjanjian perkawinan.

3 thoughts on “Perjanjian Pra-Nikah

  1. John Doe says:

    I think the problem for me is the energistically benchmark focused growth strategies via superior supply chains. Compellingly reintermediate mission-critical potentialities whereas cross functional scenarios. Phosfluorescently re-engineer distributed processes without standardized supply chains. Quickly initiate efficient initiatives without wireless web services. Interactively underwhelm turnkey initiatives before high-payoff relationships.

    • Jennifer Freeman says:

      Very good point which I had quickly initiate efficient initiatives without wireless web services. Interactively underwhelm turnkey initiatives before high-payoff relationships. Holisticly restore superior interfaces before flexible technology. Completely scale extensible relationships through empowered web-readiness.

  2. Willie Clark says:

    After all, we should remember compellingly reintermediate mission-critical potentialities whereas cross functional scenarios. Phosfluorescently re-engineer distributed processes without standardized supply chains. Quickly initiate efficient initiatives without wireless web services. Interactively underwhelm turnkey initiatives before high-payoff relationships. Holisticly restore superior interfaces before flexible technology.

Comments are closed.

X